Sulfikar Amir
Mahasiswa S3, Rensselaer Polytechnic Institute, Troy, New York
Pagi itu salah satu ruang di gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi penuh sesak. Diantara hadirin tampak para peneliti senior BPPT dan beberapa tokoh elit teknologi tanah air. Tajuk utama pertemuan itu adalah sejarah dan proses pengembangan industri pesawat terbang nasional yang kini bernama PT Dirgantara Indonesia (PTDI).
Banyak isyu penting yang muncul dalam diskusi tentang PTDI itu, termasuk sejarah dunia penerbangan di tanah air yang telah genap berusia 100 tahun. Tapi ada satu hal menarik dalam pertemuan itu, yaitu lontaran pentingnya politik teknologi. Lontaran ini bermaksud mengangkat teknologi sebagai komoditas politik. Mengapa para ahli teknologi yang berkutat dengan wilayah “non-politik” tiba-tiba memunculkan gagasan politik teknologi? Bukankah politik hanya permainan para politisi di Senayan? Bagaimana teknologi dapat menjadi obyek politik?
Dalam kajian akademis, istilah politik teknologi (technological politics) pertama kali dilontarkan oleh Langdon Winner dalam buku klasiknya “Autonomous Technology.” Menurut Winner, teknologi tidak pernah bisa lepas dari politik. Ada dua kategori politik teknologi. Pertama, teknologi secara inheren memiliki kandungan politik. Ini terjadi ketika manusia harus tunduk pada tuntutan teknologi (technological imperatives) sehingga pada akhirnya manusia yang beradaptasi dengan sistem teknologi, bukan sebaliknya. Kedua, teknologi adalah produk politik. Dia menjadi medium di mana kekuasaan dan kepentingan berbagai pihak bertemu, berkonflik, dan bernegosiasi satu sama lain. Kelihatannya pemahaman politik teknologi yang dilontarkan para ahli teknologi kita merujuk pada kategori yang kedua.
Jika kita cermati, sebenarnya teknologi telah lama dijadikan komoditas politik di era Orde Baru. Ini dimulai ketika B.J. Habibie diangkat menjadi Menristek pada tahun 1978 bersamaan dengan pendirian BPPT sebagai counterpart dari BAPPENAS dalam kebijakan pembangunan.
Politik teknologi pada era Orde Baru adalah hasil relasi kekuasaan antara Suharto dan Habibie. Relasi kekuasaan ini sebenarnya tidak bersifat satu arah seperti yang banyak dipahami melainkan hubungan yang saling menguntungkan (symbiosis mutualism). Pada satu sisi Habibie mendapatkan otoritas politik yang begitu besar dari Suharto untuk mewujudkan gagasan-gagasan teknologi tingginya. Di sisi lain, Suharto mendapatkan legitimasi dari keberadaan Habibie sebagai ahli teknologi terkemuka guna menjaga kesinambungan kekuasaan rejim Orde Baru.
Politik teknologi sebagai produk relasi kekuasaan dalam rejim Orde Baru adalah hal yang lumrah. Yang menjadi masalah adalah terjadinya “depolitisasi” teknologi di mana teknologi dijadikan barang ekslusif sekelompok elit teknologi seolah-olah hanya merekalah yang memiliki otoritas atas pengembangan teknologi. Kondisi ini menciptakan apa yang disebut James Ferguson sebagai “anti-politics machine.” Politik teknologi ditabukan dengan argumen bahwa teknologi adalah entitas yang steril (netral) dari politik. Akibatnya, teknologi lepas dari wilayah pengamatan publik dan hanya menjadi “political resources” bagi para ahli teknologi.
Reformasi telah membawa banyak perubahan di masyarakat. Wacana politik dan demokrasi telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Ini berdampak pula pada kesadaran akan pentingnya sebuah politik teknologi. Tapi satu hal menarik untuk dicermati di sini. Gagasan politik teknologi yang dilontarkan di pertemua BPPT tersebut sebenarnya bentuk kegelisahan termarjinalisasinya isyu teknologi dalam kebijakan pembangunan yang didominasi oleh ahli ekonomi.
Seperti kita ketahui, telah lama terjadi kompetisi teknokrasi antara para ahli teknologi (Habibie, dkk) dengan ahli ekonomi (Widjojo Nitisastro, dkk) dalam mempengaruhi kebijakan ekonomi dan industri. Pertentangan paradigma antara “Habibienomics” dengan konsep keunggulan kompetitifnya dengan “Widjojonomics” dengan keunggulan komparatifnya adalah bukti empirik yang terjadi pada level epistemologis yang berdampak signifikan pada level kebijakan. Kedua kubu yang masing-masing menguasai lembaga-lembaga pemerintah itu seakan-akan sulit untuk dikompromikan.
Kolapsnya industri dirgantara nasional setelah 20 tahun lebih menerima subsidi dari pemerintah menjadi lonceng “kekalahan” paradigma ahli teknologi. Kekalahan ini ditandai dengan semakin dominannya peran ahli ekonomi dalam kebijakan pemerintah pasca reformasi. Bagi para ahli teknologi ini tidak menguntungkan karena ahli ekonomi dianggap selalu bersikap pragmatis dan cenderung menafikan faktor teknologi dalam kebijakan ekonomi.
Pemilihan presiden tahun ini menjadi momentum bagi para ahli teknologi untuk mengangkat kembali wacana politik teknologi. Ini patut didukung karena negeri ini bagaimanapun juga membutuhkan teknologi yang dibangun secara mandiri. Sadar atau tidak sadar, begitu banyak permasalahan sosial ekonomi yang menerpa bangsa ini yang bermuara pada permasalahan teknologi. Mulai dari ketersediaan layanan kesehatan, pangan, enerji, transportasi, telekomunikasi, dan berbagai kebutuhan sehari-hari. Tanpa pengembangan teknologi yang mandiri, Indonesia akan terus bergantung dengan bangsa lain. Oleh karena itu, pencanangan politik teknologi diperlukan agar pemerintah yang akan terbentuk pasca pemilu 2004 memiliki kesadaran teknologi yang tinggi.
Walaupun begitu, ada tiga pemahaman politik teknologi yang harus dicatat. Pertama, politik teknologi bukanlah semata-mata alat bagi ahli teknologi untuk mendapatkan sumber daya politik dan ekonomi dari pemerintah. Wacana politik teknologi yang difokuskan pada tujuan ini hanya akan mengulang sejarah politik teknologi Orde Baru yang bersifat eksklusif dan cenderung distortif.
Kedua, para ahli teknologi harus menerima kenyataan bahwa politik penuh dengan konflik dan negosiasi. Karena itu mereka harus siap berkonflik dan bernegosiasi dalam politik teknologi.
Ketiga, konflik dan negosiasi dalam politik teknologi tidak semata-mata antara pemerintah dan ahli teknologi, tetapi melibatkan masyarakat luas dan kelompok intelektual lainnya, termasuk ahli ekonomi, sosial, dan budaya. Seperti kata sejarawan teknologi Thomas Hughes, “technology is far too important to leave only to engineers.” Konsekuensinya, para ahli teknologi harus membuka diri terhadap keterlibatan masyarakat luas dalam merumuskan kebijakan teknologi yang lebih memasyarakat. Inilah inti dari politik teknologi.
*Sulfikar Amir adalah kandidat doktor studi sosial sains dan teknologi di Rensselaer
Sumber : Dimensi vol. 6 no. 2 edisi Januari 2005 Warta Sains dan Teknologi ISTECS-Japan
Diakses oleh : arifin_pararaja