Oleh : arifin_pararaja
Pada saat ini kesadaran akan lingkungan yang bersih dan aman sudah meningkat. Masalah pencemaran sudah menarik banyak kalangan, mulai lapisan bawah sampai pejabat tinggi pemerintah.
Air merupakan subtrat yang paling parah akibat pencemaran. Berbagai jenis pencemar baik yang berasal dari sumber domestik (rumah-tangga, perkampungan, kota, pasar dan sebagainya) maupun sumber non-domestik (pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan serta sumber-sumber lain) banyak memasuki badan air. Secara langsung ataupun tidak langsung pencemar tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas air, baik untuk keperluan air minum, air industri ataupun keperluan lainnya.
Akibat semakin tingginya kadar buangan domestik memasuki badan air di negara yang sedang berkembang, maka tidak mengherankan kalau berbagai jenis penyakit, secara epidemik ataupun endemik berjangkit dan merupakan masalah rutin dimana-mana.
Di Indonesia misalnya, setiap tahun lebih dari 3.500.000 anak-anak dibawah umur 3 tahun di serang oleh berbagai jenis penyakit perut dengan jumlah kematian sekitar 105.000 orang. Jumlah tersebut akan meningkat lebih banyak pada daerah/tempat yang keadaan sanitasi lingkungannya berada pada tingkat rendah.
Untuk memantau pencemaran air (sungai) digunakan kombinasi parameter fisika, kimia dan biologi. Tapi, sering hanya digunakan parameter fisika seperti temperatur, warna, bau rasa dan kekeruhan air. Ataupun parameter kimia seperti partikel terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologis, partikel tersuspensi (TSS), Amonia (NH3).
Parameter biologis masih jarang digunakan sebagai parameter penentu pencemaran. Padahal, pengukuran menggunakan parameter fisika dan kimia hanya memberikan kualitas lingkungan sesaat dan cenderung memberikan hasil dengan interpretsi dalam kisaran lebar (Verheyen, 1990)
Dewasa ini beberapa negara maju seperti Perancis, Inggris dan Belgia melirik indikator biologis untuk mementau pencemaran air. Bahkan sudah dikembangkan hukum mutu air biotik. Di Indonesia belum mempunyai baku mutu air indeks biotik, yang ada hanya baku mutu air untuk parameter fisika dan kimia.
Indikator Biologis digunakan untuk menilai secara makro perubahan keseimbangan ekologi, khususnya ekosistem, akibat pengaruh limbah. Menurut Verheyen (1990), spesies yang tahan hidup pada suatu lingkungan terpopulasi, akan menderita stress fisiologis yang dapat digunakan sebagai indikator biologis.
Dibandingkan dengan menggunakan parameter fisika dan kimia, indikator biologis dapat memantau secara kontinyu. Hal ini karena komunitas biota perairan (flora/fauna) menghabiskan seluruh hidupnya di lingkungan tersebut, sehingga bila terjadi pencemaran akan bersifat akumulasi atau penimbunan.
Di samping itu, indikator biologis merupakan petunjuk yang mudah untuk memantau terjadinya pencemaran. Adanya pencemaran lingkungan, maka keanekaragaman spesies akan menurun dan mata rantai makanannya menjadi lebih sderhana, kecuali bila terjadi penyuburan.
Flora dan fauna yang dapat dijadikan indikator biologis pencemaran sungai dapat diamati dari keanekaragaman spesies, laju pertumbuhan struktur dan seks ratio.
Keanekaragaman flora dan fauna ekosistem sungai tinggi menandakan kualitas air sungai tersebut baik/belum tercemar. Tetapi sebaliknya bila keanekaragamannya kecil, sungai tersebut tercemar.
Indikator biologis pencemaran sungai harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Mudah diidentifikasi
b. Mudah dijadikan sampel, artinya tidak perlu bantuan operator khusus, maupun peralatan yang mahal dan dapat dilakukan secara kuantitatif.
c. Mempunyai distribusi yang kosmopolit.
d. Kelimpahan suatu spesies dapat digunakan untuk menganalisa indeks keanekaragaman.
e. Mempunyai arti ekonomi sebagai sumber penghasilan (seperti ikan), atau hama/organisme penggangu (contoh : algae)
f. Mudah menghimpun/menimbun bahan pencemar.
g. Mudah dibudidayakan di laboratorium.
h. Mempunyai keragaman jenis yang sedikit.
Yang perlu diperhatikan dalam memilih indikator biologi adalah tiap spesies mempunyai respon terhadap pencemaran yang spesifik.
Ikan sulit digunakan sebagai indikator populasi. Lebih mudah menggunakan spesies air lain yang tidak lincah geraknya.
Hasil penelitian Moch. Affandi (1990), hewan bentos makro dan spesies Tubitex Sp dan Malainoides tuberculate merupakan spesies indikator adanya oksigen terlarut (DO) yang rendah dan partikel tersuspensi yang tinggi pada ekosistem perairan sungai.
Alga hijau biru (Microytis sp) meningkat bila perairan banyak dicemari pupuk Nitogen (N). Pencemaran phosphat (PO4) meningkat dapat dilihat dengan meningkatnya kehadiran Alga Hijau Biru (Anabaena sp).
Eceng gondok (Eichornia crassoper) merupakan indikator pencemaran organik. Kekeruhan dan padatan tersuspensi meningkat dapat dilihat dengan menurunnya indikator bentosialter feeders Hydrosyche dan simulium.
Beberapa tingkat pencemaran bahan organik dalam air tawar dan fauna makroinvertebrata sebagai indikator bilogi :
– Limbah organik yang sangat pekat (DO pada taraf nol) fauna invertebrata hanya golongan cacing dari golongan Tubifex dan Limnodrillus.
– Kalau kondisi air lebih baik, maka hewan golongan cacing tersebut akan diikuti oleh larva Chrinomous (cacing darah).
– Pada zona air yang sudah pulih spesies yang khas adalah Asellus aquaticus di samping Chironomus, tetapi ada pula makroinvertebrata seperti Lintah dan Moluska.
Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu. karena hewan bentos terus menerus terdedah oleh air yang kualitasnya berubah-ubah (Oey, et al1., 1978). Diantara hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata makro. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobentos (Rosenberg dan Resh, 1993).
Keberadaan hewan bentos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber makanan bagi hewan bentos. Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia air yang diantaranya: suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD) dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen (N), kedalaman air, dan substrat dasar ((Allard and Moreau, 1987); APHA, 1992).
Zoobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang (Kendeigh, 1980; Odum 1993; Rosenberg dan Resh, 1993). Hewan ini memegang beberapa peran penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan (Lind, 1985), serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan (Odum, 1993).
Berdasarkan ukurannya, zoobentos dapat digolongkan ke dalam kelompok zoobentos mikroskopik atau mikrozoobentos dan zoobentos makroskopik yang disebut juga dengan makrozoobentos. Menurut Cummins (1975), makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuh sekurang-kurangnya 3 – 5 mm pada saat pertumbuhan maksimum. APHA (1992) menyatakan bahwa makrozoobentos dapat ditahan dengan saringan No. 30 Standar Amerika. Selanjutnya Slack et all. (1973) dalam Rosenberg and Resh (1993) menyatakan bahwa makrozoobentos merupakan organisme yang tertahan pada saringan yang berukuran besar dan sama dengan 200 sampai 500 mikrometer.
Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida (Cummins, 1975). Taksa-taksa tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam komunitas perairan karena sebagian dari padanya menempati tingkatan trofik kedua ataupun ketiga. Sedangkan sebagian yang lain mempunyai peranan yang penting di dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan-bahan organik, baik yang berasal dari perairan maupun dari daratan (Janto et all., 1981 dalam Nurifdinsyah, 1993).
Penggunaan makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan dalam bentuk indeks biologi. Cara ini telah dikenal sejak abad ke 19 dengan pemikiran bahwa terdapat kelompok organisme tertentu yang hidup di perairan tercemar. Jenis-jenis organisme ini berbeda dengan jenis-jenis organisme yang hidup di perairan tidak tercemar. Kemudian oleh para ahli biologi perairan, penge-tahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas per-airan (Abel, 1989; Rosenberg and Resh, 1993).
Metode kualitatif tertua untuk mendeteksi pencemaran secara biologis adalah sistem saprobik (Warent, 1971) yaitu sistem zonasi pengkayaan bahan organik berdasarkan spesies hewan dan tanaman spesifik. Hynes (1978) ber-pendapat bahwa sistem saprobik mempunyai beberapa kelemahan, antara lain kurang peka terhadap pengaruh buangan yang bersifat toksik. Tidak ditemukannya makrozoobentos tertentu belum tentu dikarenakan adanya pencemaran organik, sebab mungkin dikarenakan kondisi fisik perairan yang kurang mendukung kehidupannya atau kemunculannya dikarenakan daur hidupnya (Hawkes, 1979).
Keragaman jenis disebut juga keheterogenan jenis, merupakan ciri yang unik untuk menggambarkan struktur komunitas di dalam organisasi kehidupan. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keragaman jenis tinggi, jika kelimpahan masing-masing jenis tinggi dan sebaliknya keragaman jenis rendah jika hanya ter-dapat beberapa jenis yang melimpah.
Indeks keragaman jenis (H’) menggambarkan keadaan populasi organisme secara matematis, untuk mempermudah dalam menganalisa informasi-informasi jumlah individu masing-masing jenis dalam suatu komunitas. Diantara Indeks ke-ragaman jenis ini adalah Indeks keragaman Shannon – Wiener.
Perbandingan antara keragaman dan keragaman maksimum dinyatakan se-bagai keseragaman populasi, yang disimbulkan dengan huruf E. Nilai E ini berki-sar antara 0 – 1. Semakin kecil nilai E, semakin kecil pula keseragaman populasi, artinya penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama dan ada kecenderungan satu spesies mendominasi, begitu pula sebaliknya semakin besar nilai E maka tidak ada jenis yang mendominasi. Untuk melihat dominasi suatu spesies digunakan indeks dominansi (C).
Berdasarkan nilai indeks keragaman jenis zoobentos, yang dihitung berdasarkan formulasi Shannon-Wiener, dapat ditentukan beberapa kualitas air. Wilhm (1975) menyatakan bahwa air yang tercemar berat, indeks keragaman jenis zoobentosnya kecil dari satu. Jika berkisar antara satu dan tiga, maka air tersebut setengah tercemar. Air bersih, indeks keragaman zoobentosnya besar dari tiga. Staub et all. dalam Wilhm (1975) menyatakan bahwa berdasarkan indeks keragaman zoobentos, kualitas air dapat dikelompokkan atas: tercemar berat (0<H'<1), setengah tercemar (1<H'<2), tercemar ringan (2<H'<3) dan tercemar sangat ringan (3<H<4,5). Kisaran nilai H’ tersebut merupa-kan bagian dari penilaian kualitas air yang dilakukan secara terpadu dengan faktor fisika kimia air. Sedangkan Lee et all. (1978) menyatakan bahwa nilai indeks keragaman (H) pada perairan tercemar berat, kecil dari satu (H<1), tercemar sedang (1,0 – 1,5), tercemar ringan (1,6 – 2,0), dan tidak tercemar H besar dari dua (H>2,0).
Untuk mendapatkan gambaran hubungan antara faktor fisika dan kimia dan struktur komunitas makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan analisis regresi. Analisa lebih detail dapat dilakukan dengan “principle components analysis”. Dari gambaran ini diharapkan dapat diungkapkan jenis-jenis makrozoobentos yang diduga dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan serta faktor fisika kimia apa saja yang terutama mempengaruhi keberadaan makrozoobentos di perairan tersebut.
Diolah dari Heri Rizky. 2007. “Indikator Biologis”. Tangerang : PT. TKCM