BICARA SINGKAT TENTANG PEMANASAN GLOBAL (GLOBAL WARMING).

Oleh : Arifin_pararaja

Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Kenaikan suhu ini, akan mengakibatkan mencairnya es di kutub, menaikkan suhu lautan hingga volume dan muka air laut meningkat. Akibat langsung dari adanya pemanasan global itu seperti, perubahan cuaca dan iklim global, sistem pertanian dan persediaan bahan makanan, migrasi hewan dan penurunan jumlah spesies hewan dan tumbuhan. Baca lebih lanjut

TERBENTUKNYA AKSARA JAWA (Dumadine aksara jawa).

Bambang Hermanto

Kocap kacarita ing sawijining dina ana pawongan lanang bagus lelana praja diiringi wong lanang cacah loro. Wong bagus mau aran Prabu Ajisaka lan loro abdine jeneng Dora lan Sembada.

 

Wong mau dudu wong Jawa, nanging dheweke sedya milangkori ing tlatah pulo Jawa. Wong telu mau padha leren ing tlatah Gunung Kendheng. “Becik kowe madhepok ana ing Gunung Kendheng kene dhisik. Samangsa-mangsa kowe bakal taktimbali. Karo iki, keris pusaka iki taktitipake marang kowe. Aja pisan-pisan mbokulungake marang liyan sanadyan wong mau sing ndhawuhi aku,” prentahe Prabu Ajisaka marang abdine jeneng Sembada. Sembada ngemban dhawuhe sang Prabu Ajisaka. Ajisaka karo abdi sijine jeneng Dora banjur mbacutake laku.Prabu Ajisaka lan abdine Dora nlasah alas gung liwang-liwung, uga mlebu desa ing adesa ing pulo Jawa. Baca lebih lanjut

THE POWER OF LOVE !!!

Chapter 1. : INDUSTRIALISASI CINTA

Tema yang diangkat untuk diskusi (malam itu) adalah “Industrialisasi Cinta”. Hal tersebut sengaja diangkat di tengah semaraknya kisah cinta populis yang diangkat ke dalam novel picisan, bahkan tak kurang sebuah film berlatar belakang novel cinta juga telah diangkat ke layar lebar dan meraup rupiah yang menakjubkan. Namun demikian adalah beberapa kalangan juga sangat mengkritisi fenomena tersebut. Ada apakah sebenaranya dengan masyarakat kita? Apakah yang sebenarnya telah terjadi?

Sebagai contoh booming film berjudul Ayat-ayat Cinta yang diangkat dari novel yang sama karya Habiburrahman El-Shirazy. Pemutaran film tersebut semenjak dari launching pertama sudah mendapatkan antusiasme dari masyarakata yang luar biasa. Tak kurang dari para ABG, bahkan ibu-ibu, nenek-nenek, para eksekutif muda, juga tak kurang para tokoh masyarakat dan agama, termasuk juga Habibie begitu semangat mengantri hanya untuk mendapatkan tiket pertunjukan dan memberikan komentar yang ”luar biasa” di akhir cerita.

Terlepas dari itu semua, dikatakan oleh Hanung Bramantyo sang sutradara bahwa film ini sengaja dibuat untuk memenuhi tantangan sang ibunda yang ingin melihat, suatu saat, anaknya dapat membuat film yang bertemakan mengenai agamanya. Bahkan untuk mendapatkan ”legitimasi” sebagai film bertemakan agama Islam, semenjak awal telah dilibatkan tokoh Islam seperti Prof Dien Syamsudien. Apakah benar fokus film ini ditekankan kepada tema Islam? Seberapa besar perbandingan dengan tema percintaan romantismenya?

Sedikit pandangan dari beberapa pihak yang menyayangkan ketika film tersebut berlatar belakang dunia perkuliahan di sebuah universitas Islam terkemuka dan tertua, namun betapa minim diungkap mengenai Al Azar sendiri sebagai pusat kelahiran peradaban Islam baru. Alangkah lebih indah jika alur film memberikan gambaran secara lebih fokus mengenai Al Azar, sehingga dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas dan komprehensif bagi para penonton mengenai dunia padhepokan pewaris peradaban Islam terbesar yang telah melahirkan banyak tokoh muslim kaliber dunia. Sayang memang yang lebih menonjol dimensi percintaan sang tokoh utama dengan segala dilematikanya. Sedikit orang yang tidak bilang bahwa film tersebut dikategorikan film Islam dikarenakan adanya kisah poligami yang dialami sang tokoh.

Apakah tidak bisa dikatakan bahwa dalam konteks ini, Islam menjadi dipersempit mengenai poligami saja? Padahal semestinya masih banyak sisi keislaman lain yang bisa digali dan diangkat dari menara peradaban Al Azar. Barangkali memang itu sangat tergantung niat dari sutradara dan sejauh mana dia mampu mengembangkan kisah di dalam novelnya yang asli. Namun beberapa kalangan tidak dapat menghilangkan kesan picisan dari film tersebut. Dan ndilalahnya masyarakat kita sangat gemar dan menyukai sesuatu yang dikupas secara ringan dan dangkal bahkan bersifat instan. Masyarakat kita masih sulit untuk diajak kritis terhadap keadaan. Maka jangan heran jika di berbagai majlis pengajian ibu-ibu telah diagendakan untuk berbondong-bondong menonton bareng di bioskop. Fenomena apakah ini?

Kita barangkali dapat sedikit menengok kisah film percintaan yang mengangkat dikotomi perbenturan peradaban yang dikemas secara cerdas dengan mengungkap sisi humanisme. Film tersebut memang mulai diputar hampir bersamaan waktunya dengan film Ayat-ayat Cinta. Mengambil tema kisah pergolakan adat dengan paradigma modern yang menimpa kelompok masyarakat Samin di sudut timur laut Jawa Tengah, tentunya juga dibumbui dengan kisah percintaan ”terlarangnya”.

Film ini menghadirkan nama-nama besar seperti WS Rendra, Soultan Saladien, dan Ardina Rasti, sengaja dibuat untuk mengangkat dan memperkenalkan anak bangsa bernama kelompok Samin yang telah lahir di era kolonialisme Belanda. Kelompok Samin, atau mereka lebih senang disebut sebagai Sedulur Sikep, merupakan kelompok pemberontak kepada penjajah Belanda dengan mengambil corak gerakan ratu adil. Dipelopori oleh seorang pelarian pangeran dari Madiun bernama Ki Samin Surosentiko mereka hidup mengasingkan diri di tengah hutan dan menolak pajak, perintah tanam paksa yang diberlakukan penjajah.

Selepas kemerdekaan, kelompok tersebut tetap memegang prinsip yang terdengar “aneh” untuk ukurang orang modern saat ini. Mereka tidak mau mempergunakan alat-alat modern, tidak memakai listrik, mereka percaya bahwa hidup harusnya mengambil sesuatu untuk kepeluan dengan secukupnya saja, tanpa berlebih apalagi sampai merusak alam. Paham mereka tidak boleh merusak hutan, tidak mau memakai pupuk kimia untuk pertaniannya. Mereka hidup dengan dibangun di atas filosofi adat yang dipegang erat, meski tanpa formalisme sebuah aturan. Sehingga dapat dikatakan mereka hidup harmoni tanpa peraturan, karena mereka adalah manusia dengan kelas yang bisa tertib tanpa harus diatur.

Kenapa masyarakat kita kurang begitu suka dengan nilai kearifan lokal yang tebukti mampu bertahan dan menata hidup secara mandiri dan harmonis? Kenapa masyarakat selalu mengagung-agungkan setiap nafas dan warna “modern” hanya jika berasal dari luar negeri dan berbau populis, instan dengan gaya tren sesaat saja? Mari kembali kita tanya pada rumput yang bergoyang!.

Chapter 2. :  “KRISIS CITA-CITA”

Di awal sesi diskusi Cak Nun melemparkan pertanyaan. Seekor burung yang sekian lama dikurung dalam sangkar, apakah hal selalu diimpikannya atau dicita-citakannya? Jawaban mayoritas jamaah, tentu si burung ingin terbang bebas lepas.

Nah analogi dengan si burung tadi, sebenarnya apa sih yang dicita-citakan kita selaku rakyat Indonesia? Jawaban jamaah mulai bervariasi, ada yang ingin merdeka, merdeka dari apa? Merdeka dari siapa? Ada yang menjawab ingin menjadi manusia. Manusia model apa? Manusia menurut definisi budaya, ekonomi, politik, sosiologi, filasafat atau yang mana? Kembali abstrak memang. Dan jawaban-jawaban yang bergulir aut manuk tersebut semakin menunjukkan bahwa kita kurang paham dengan cita-cita kita sendiri, dan inilah awal mula adanya krisis cita-cita.

Manusia, ditinjau dari kemampuan dan pengetahuaan yang dimilikinya digolongkan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah manusia yang tahu sedikit mengenai sesuatu yang sedikit. Contohnya, seseorang yang memiliki kemampuan membuat bubur yang dari tahun ke tahun keahliannya tidak pernah berkembang. Orang semacam ini seumur hidup hanya akan diisi dengan satu-satunya keahlian tersebut.

Kelompok kedua adalah orang yang tahu banyak mengenai sesuatu yang sedikit. Orang semacam ini disebut memiliki spesialisasi keahlian dan menguasai bidangnya secara mendalam. Kelemahan orang ini adalah dia tidak mengetahui meski sedikit mengenai hal yang di luar bidang yang digelutinya. Manusia barat (Eropa, Amerika) memiliki tipologi manusia kedua ini. Mereka lebih menitikberatkan pada pengembangan kecerdasan otak atau intelektualitas.

Sedangkan kelompok manusia ketiga adalah manusia yang tahu banyak mengenai banyak hal. Manusia semacam ini mempunyai keahlian untuk belajar mengenai banyak hal dan dapat menguasainya dengan mendalam dan memiliki kestabilan kebatinan secara mantap. Mereka memiliki keunggulan di bidang kenekatan radikalisme, mentalitas spiritualitas, sikap sabar dan narimo yang sangat luar biasa, tahan banting, serta tahan menderita. Perubahan kondisi hidup yang berat diresponnya dengan keterkejutan sesaat untuk kemudian disikapinya dengan biasa karena keterbiasaan. Dan nampaknya manusia timur (Jawa) sangat menguasai mentalitas tersebut.

Coba anda lihat kenekatan dan keberanian luar biasa yang menjadi ciri bangsa kita. Mana ada bangsa di dunia yang berani, hanya dengan beralas sandal jepit tanpa helm astronot dan baju pengaman naik di atas menara kabel sutet seraya bersenda gurau diantara rekannya sambil bertanya “nomere metu piro kang?”. Mana ada orang takut naik kereta listrik di atas gerbong terbuka di negri ini? Mau disemprot cat? Ndak takut mereka! Orang-orang pinggiran di pinggiran sungai yang tiap saat terlanda banjir, apakah takut banjir dan kemudian berbondong-bondong untuk pindah? Egp…emang gue pikirin! Dan lihat wajah mereka tetap ceria dan ketawa-tiwi meski rumah mereka terendam sedengkul tiap hari. Mereka telah terbiasa dengan penderitaan. Gusti Allah mboten sare, becik ketitik ala ketara…sabar narimo ing pandum… Barangkali demikianlah slogan mereka.

Tahan banting, tabah, tidak takut menderita, barangkali memang kekuatan dari bangsa kita semenjak belum menghirup udara kemerdekaan. Namun jika ditelaah secara lebih seksama lagi, hal tersebut ternyata juga merupakan sisi kelemahan bangsa kita jika tidak diterapkan secara bijaksana. Dengan sikap nrimo dan pasrah, serta sikap adaptasi terhadap kesulitan hidup bisa jadi mematikan sikap brontak untuk maju bertempur melawan kezaliman, ketidakadilan jaman guna memperbaiki hidup.

Kebodohan dan kemiskinan yang seharusnya diperanginya ramai-ramai, malahan disandingi dan diakrabinya dengan mesra. Hidup seakan harus senantiasa dilandasi sikap pasrah tanpa melakukan perbaikan. Apakah keinginan para leluhur yang mewariskan kearifan tersebut memang menginginkan hal yang demikian? Nampaknya perlu ada perbaikan pemahaman atau lebih radikal lagi, perlu redefinisi tata nilai. Sikap dan moralitas hidup yang telah diwariskan nenek moyang harus dilandasi sikap cerdas dan kritis dengan penjiwaan yang empan papan atau proporsional disesuaikan dengan dinamika jaman untuk meraih hidup yang lebih baik.

Bangsa dan masyarakat yang maju adalah masyarakat yang mengenali diri sendiri secara baik, mampu mengukur kekuatan sekaligus kelemahannya untuk kemudian merumuskan cita-cita sebagai tujuan hidup. Dengan pengetahuan mengenai diri sendiri yang memadai, segala potensi dan kekuatan yang dimiliki akan dapat lebih dioptimalkan untuk menggapai cita-cita setinggi apapun. Dan nampaknya bangsa ini harus segera menyadari hal ini dan keluar secepatnya dari krisis cita-cita.

Adopted by : @_pararaja from www.sangnanang.dagdigdug.com