Penentuan Kehalalan Produk Pangan Hasil Bioteknologi: Suatu Tantangan

Dr. Ir. Anton Apriyantono

Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta, Institut Pertanian Bogor.

 

PENDAHULUAN

Terlepas dari pro dan kontra diharamkannya MSG Ajinomoto oleh MUI baru-baru ini, kejadian tersebut seharusnya membangunkan kita dari tidur panjang selama ini, betapa banyak permasalahan yang dihadapi umat Islam dalam masalah kehalalan produk-produk pangan. Oleh karena itu, ilmuwan diharapkan ikut berperan dalam menyelesaikan permasalahan ini demi kepentingan umat. Agaknya perkembangan teknologi yang sedemikian pesat belum sejalan dengan perkembangan pemahaman hukum Islam dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, ijtihad dalam masalah kehalalan produk pangan ini sangat dibutuhkan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam dalam masalah ini.

Di satu sisi, para ahli syariah Islam mungkin belum seluruhnya menyadari betapa kompleksnya produk pangan dewasa ini dimana asal usul bahan bisa melalui jalur yang berliku-liku, banyak jalur, bahkan dalam beberapa kasus, sulit ditentukan asal bahannya. Dengan demikian, penentuan kehalalan suatu produk menjadi tidak mudah, memerlukan peran ilmuwan untuk menelusuri asal usul bahan dan proses pembuatannya. Di sisi lain, pemahaman para ilmuwan terhadap syariah Islam, ushul fiqih dan metodologi penentuan halam haramnya suatu bahan pangan dari sisi syariah, relatif minimal. Akibatnya, sering terjadi perbedaan pandangan dalam menentukan kehalalan produk pangan. Dengan demikian seharusnya para ilmuwan muslim menggali kembali pengetahuan syariahnya, sehingga mampu mengamalkannya dalam kegiatan sehari-hari. Disamping itu, pengetahuan tersebut akan membantu ilmuwan untuk bersama-sama ulama menentukan status kehalalan produk-produk pangan.

Dalam makalah ini akan dicoba dibahas hukum-hukum syariah yang berhubungan kehalalan makanan dan minuman serta implikasinya dalam penentuan kehalalan produk pangan hasil bioteknologi. Tentu saja pembahasan disini lebih menekankan pada kajian berdasarkan sumber utama yaitu Al-Quran dan hadis, kemudian didukung oleh hasil ijma ulama dan pendapat-pendapat para ulama. Selain itu, pembahasan hanya secara garis besar saja, kecuali beberapa hal yang dianggap kritis. Selanjutnya akan dicoba membahas secara umum bagaimana implikasi hukum-hukum tersebut pada produk pangan hasil bioteknologi.

BAHAN PANGAN YANG DIHARAMKAN

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadanya (Al-Maaidah: 88).

Ayat tersebut diatas jelas-jelas telah menyuruh kita hanya memakan makanan yang halal dan baik saja, dua kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang dapat diartikan halal dari segi syariah dan baik dari segi kesehatan, gizi, estetika dan lainnya.

Sesuai dengan kaidah ushul fiqih, segala sesuatu yang Allah tidak melarangnya berarti halal. Dengan demikian semua makanan dan minuman diluar yang diharamkan adalah halal. Oleh karena itu, sebenarnya sangatlah sedikit makanan dan minuman yang diharamkan tersebut. Walaupun demikian, pada zaman dimana teknologi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari manusia, maka permasalahan makanan dan minuman halal menjadi relatif kompleks, apalagi yang menyangkut produk-produk bioteknologi.

Makanan yang Diharamkan

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang (Al-Baqarah:173).

Dari ayat diatas jelaslah bahwa makanan yang diharamkan pada pokoknya ada empat:

  1. Bangkai: yang termasuk kedalam kategori bangkai ialah hewan yang mati dengan tidak disembelih, termasuk kedalamnya hewan yang matinya tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh hewan buas, kecuali yang sempat kita menyembelihnya (Al-Maaidah:3). Bangkai yang boleh dimakan berdasarkan hadis yaitu bangkai ikan dan belalang (Hamka, 1982).
  2. Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir (Al-Anam:145), yang dimaksud adalah segala macam darah termasuk yang keluar pada waktu penyembelihan (mengalir), sedangkan darah yang tersisa setelah penyembelihan yang ada pada daging setelah dibersihkan dibolehkan (Sabiq, 1987). Dua macam darah yang dibolehkan yaitu jantung dan limpa, kebolehannya didasarkan pada hadis (Hamka, 1982).
  3. Daging babi. Kebanyakan ulama sepakat menyatakan bahwa semua bagian babi yang dapat dimakan haram, sehingga baik dagingnya, lemaknya, tulangnya, termasuk produk-produk yang mengandung bahan tersebut, termasuk semua bahan yang dibuat dengan menggunakan bahan-bahan tersebut sebagai salah satu bahan bakunya. Hal ini misalnya tersirat dalam Keputusan Fatwa MUI bulan September 1994 tentang keharaman memanfaatkan babi dan seluruh unsur-unsurnya (Majelis Ulama Indonesia, 2000).
  4. Binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Menurut Hamka (1984), ini berarti juga binatang yang disembelih untuk yang selain Allah (penulis mengartikan diantaranya semua makanan dan minuman yang ditujukan untuk sesajian). Tentu saja semua bagian bahan yang dapat dimakan dan produk turunan dari bahan ini juga haram untuk dijadikan bahan pangan seperti berlaku pada bangkai dan babi.

Masalah pembacaan basmalah pada waktu pemotongan hewan adalah masalah khilafiyah (Hamka, 1982), ada yang mengharuskan membacanya, ada yang hanya menyunahkan saja (Hassan, 1985). Yang mengharuskan membacanya berpegang pada surat Al-An’am ayat 121: dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah (ketika menyembelihnya), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan Bagi mereka yang menyunahkan membacanya berpegang pada hadis-hadis, diantaranya hadis yang dirawikan oleh Bukhari, An-Nasa-i dan Ibnu Majah dari hadis Aisyah bahwa suatu kaum datang kepada kami membawakan kami daging, tetapi kami tidak tahu apakah disebut nama Allah atasnya atau tidak. Maka menjawab Rasulullah saw: kamu sendiri membaca bismillah atasnya, lalu makanlah! Berkata yang merawikan: mereka itu masih dekat kepada zaman kufur.(Artinya baru masuk Islam) (Hamka, 1982).

Ada satu masalah lagi yang masih menjadi khilafiyah yaitu sembelihan ahli kitab, ada yang membolehkan (Hamka, 1982; Qardlawi, 1976) yang didasarkan diantaranya firman Allah dalam surat Al-Maaidah ayat 5: dan makanan orang-orang yang diberi AlKitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka Kebolehan memakan hewan ternak (selain babi) hasil sembelihan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) ini sepanjang cara penyembelihannya sesuai dengan cara penyembelihan secara islami (menggunakan pisau yang tajam, memotong urat lehernya dan hewan mengeluarkan darahnya pada waktu disembelih yang berarti hewan belum mati pada waktu disembelih walaupun dipingsankan dulu sebelumnya) (Hamka, 1982). Yang mengharamkan sembelihan ahli kitab didasarkan pada ayat 121 surat Al-An’am seperti dituliskan diatas, dimana mereka menyembelih tidak atas nama Allah.

Disamping keempat kelompok makanan yang diharamkan tersebut diatas, terdapat pula kelompok makanan yang diharamkan karena sifatnya yang buruk seperti dijelaskan dalam surat Al-A`raaf:157 …..dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk…… Apa-apa saja yang buruk tersebut agaknya dicontohkan oleh Rasulullah dalam beberapa hadis, diantaranya hadis Ibnu Abbas yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan Muslim dan Ash Habussunan: Telah melarang Rasulullah saw memakan tiap-tiap binatang buas yang bersaing (bertaring penulis), dan tiap-tiap yang mempunyai kuku pencengkraman dari burung. Sebuah hadis lagi sebagai contoh, dari Abu Tsa`labah: Tiap-tiap yang bersaing dari binatang buas, maka memakannya adalah haram (perawi hadis sama dengan hadis sebelumnya).

Hewan-hewan lain yang haram dimakan berdasarkan keterangan pada hadis-hadis ialah himar kampung, bighal, burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus, anjing, anjing gila, semut, lebah, burung hud-hud, burung shard (Sabiq, 1987). Selain itu, ada lagi binatang yang tidak boleh dimakan yaitu yang disebut jallalah. Jallalah adalah binatang yang memakan kotoran, baik ia unta, sapi, kambing, ayam, angsa, dll sehingga baunya berubah. Jika binatang itu dijauhkan dari kotoran (tinja) dalam waktu lama dan diberi makanan yang suci, maka dagingnya menjadi baik sehingga julukan jallalah hilang, kemudian dagingnya halal (Sabiq, 1987).

Ada pula Imam yang tidak mengkategorikan makanan-makanan haram yang dijelaskan dalam hadis sebagai makanan haram, tetapi hanya makruh saja. Pendapat ini dipegang oleh penganut mazhab Maliki (Hamka, 1982; Hassan, 1985; Sabiq 1987). Akan tetapi, dengan menggunakan common sense saja agaknya sudah dapat dirasakan penolakan untuk memakan binatang-binatang seperti binatang buas: singa, anjing, ular, burung elang, dsb. Oleh karena itu, barangkali pendapat Mazhab Syafi`i lah yang lebih kuat yang mengharamkan makanan yang telah disebutkan diatas.

Ada pula pendapat yang mengatakan hewan yang hidup di dua air haram, yang menurut mereka didasarkan pada hadis. Sayangnya, sampai saat ini penulis hanya dapat menemukan pernyataan keharaman makanan tersebut di buku-buku fiqih tanpa dapat berhasil menemukan sumber hadisnya yang jelas selain dari satu hadis yang terdapat dalam kitab Bulughul Maram (Hassan, 1975): Dari `Abdurrahman bin `Utsman Al-Qurasyis-yi bahwasanya seorang tabib bertanya kepada Rasulullah saw tentang kodok yang ia campurkan didalam satu obat, maka Rasulullah larang membunuhnya (Diriwayatkan oleh Ahmad dan disahkan oleh Hakim dan diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan Nasa`i). Dari hadis tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa larangan membunuh kodok sama dengan larangan memakannya. Akan tetapi larangan terhadap binatang lainnya yang hidup di dua air seperti kodok tentulah tidak secara tegas dinyatakan dalam hadis tersebut, mungkin itu hanya hasil qias saja. Jadi seharusnya yang diharamkan hanya kodok saja, sedangkan hewan yang hidup di dua alam lainnya tidak diharamkan, kecuali ada hadis yang menyatakan dengan jelas keharaman hewan-hewan tersebut.

Minuman yang Diharamkan

Dari semua minuman yang tersedia, hanya satu kelompok saja yang diharamkan yaitu khamar. Yang dimaksud dengan khamar yaitu minuman yang memabukkan sesuai dengan penjelasan Rasulullah saw berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari Abdullah bin Umar: setiap yang memabukkan adalah khamar (termasuk khamar) dan setiap khamar adalah diharamkan (semua hadis-hadis yang digunakan dalam pembahasan minuman yang diharamkan diperoleh dari Sabiq, 1987). Dari penjelasan Rasulullah tsb jelas bahwa batasan khamar didasarkan atas sifatnya, bukan jenis bahannya, bahannya sendiri dapat apa saja. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat mengenai bahan yang diharamkan, ada yang mengharamkan khamar yang berasal dari anggur saja. Akan tetapi penulis menyetujui pendapat yang mengharamkan semua bahan yang bersifat memabukkan, tidak perlu dilihat lagi asal dan jenis bahannya, hal ini didasarkan atas kajian hadis-hadis yang berkenaan dengan itu, juga pendapat para ulama terdahulu.

Mengenai sifat memabukkan sendiri dijelaskan lebih rinci lagi oleh Umar bin Khattab seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut: Kemudian daripada itu, wahai manusia! sesungguhnya telah diturunkan hukum yang mengharamkan khamar. Ia terbuat dari salah satu lima unsur: anggur, korma, madu, jagung dan gandum. Khamar itu adalah sesuatu yang mengacaukan akal. Jadi sifat mengacaukan akal itulah yang dijadikan patokan. Sifat mengacaukan akal itu diantaranya dicontohkan dalam Al-Quran yaitu membuat orang menjadi tidak mengerti lagi apa yang diucapkan seperti dapat dilihat pada surat An-Nisa: 43: Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. Dengan demikian berdasarkan ilmu pengetahuan dapat diartikan sifat memabukkan tersebut yaitu suatu sifat dari suatu bahan yang menyerang syaraf yang mengakibatkan ingatan kita terganggu.

Keharaman khamar ditegaskan dalam Al-Quran surat Al-Maaidah ayat 90-91: Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan-perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menumbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran meminum khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang. Maka berhentilah kamu mengerjakan perbuatan itu.

Dengan berpegang pada definisi yang sangat jelas tersebut diatas maka kelompok minuman yang disebut dengan minuman keras atau minuman beralkohol (alcoholic beverages) termasuk khamar. Sayangnya, banyak orang mengasosiasikan minuman keras ini dengan alkohol saja sehingga yang diharamkan berkembang menjadi alkohol (etanol), padahal tidak ada yang sanggup meminum etanol dalam bentuk murni karena akan menyebabkan kematian.

Etanol memang merupakan komponen kimia yang terbesar (setelah air) yang terdapat pada minuman keras, akan tetapi etanol bukan satu-satunya senyawa kimia yang dapat menyebabkan mabuk, banyak senyawa-senyawa lain yang terdapat pada minuman keras juga bersifat memabukkan jika diminum pada konsentrasi cukup tinggi. Komponen-komponen ini misalnya metanol, propanol, butanol (Etievant, 1991). Secara umum, golongan alkohol bersifat narkosis (memabukkan), demikian juga komponen-komponen lain yang terdapat pada minuman keras seperti aseton, beberapa ester dll (Bretherick, 1986).

Secara umum, senyawa-senyawa organik mikromolekul dalam bentuk murninya kebanyakan adalah racun. Sebagai contoh, asetaldehida terdapat pada jus orange walaupun dalam jumlah kecil (3-7 ppm) (Shaw, 1991). Jika kita lihat sifatnya (dalam bentuk murninya), asetaldehida juga bersifat narkosis, walaupun hanya menghirup uapnya (Bretherick, 1986). Oleh karena itu, kita tidak dapat menentukan keharaman minuman hanya dari alkoholnya saja, akan tetapi harus dilihat secara keseluruhan, yaitu apabila keseluruhannya bersifat memabukkan maka termasuk kedalam kelompok khamar. Apabila sudah termasuk kedalam kelompok khamar maka sedikit atau banyaknya tetap haram, tidak perlu lagi dilihat berapa kadar alkoholnya.

Apabila yang diharamkan adalah etanolnya, maka dampaknya akan sangat luas sekali karena banyak sekali makanan dan minuman yang mengandung alkohol, baik terdapat secara alami (sudah terdapat sejak bahan pangan tersebut baru dipanen dari pohon) seperti pada buah-buahan, atau terbentuk selama pengolahan seperti kecap. Akan tetapi kita mengetahui bahwa buah-buahan segar dan kecap tidak menyebabkan mabuk. Disamping itu, apabila alkohol diharamkan maka ketentuan ini akan bertentangan dengan penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah saw tentang jus buah-buahan dan pemeramannya seperti tercantum dalam hadis-hadis berikut:

  1. Minumlah itu (juice) selagi ia belum keras. Sahabat-sahabat bertanya: Berapa lama ia menjadi keras? Ia menjadi keras dalam tiga hari, jawab Nabi. (Hadis Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Umar).
  2. Bahwa Ibnu Abbas pernah membuat juice untuk Nabi saw. Nabi meminumnya pada hari itu, besok dan lusanya hingga sore hari ketiga. Setelah itu Nabi menyuruh khadam menumpahkan atau memusnahkannya. (Hadis Muslim berasal dari Abdullah bin Abbas).
  3. Buatlah minuman anggur!. Tetapi ingat, setiap yang memabukkan adalah haram (Hadis tercantum dalam kitab Fiqih Sunah karangan Sayid Sabiq, 1987).

Pemeraman juice pada suhu ruang dan udara terbuka sampai dua hari jelas secara ilmiah dapat dibuktikan akan mengakibatkan pembentukan etanol, tetapi memang belum sampai pada kadar yang memabukkan, hal ini juga dapat terlihat pada pembuatan tape. Sebelum diperam pun juice sudah mengandung alkohol, juice jeruk segar misalnya dapat mengandung alkohol sebanyak 0.15%. Dari pembahasan tersebut diatas jelaslah bahwa pendapat yang mengatakan diharamkannya alkohol lemah, bahkan bertentangan dengan hadis Rasulullah saw. Apabila alkohol diharamkan, maka seharusnya alkohol tidak boleh digunakan untuk sterilisasi alat-alat kedokteran, campuran obat, pelarut (pewarna, flavor, parfum, obat, dll), bahkan etanol harus enyah dari laboratorium-laboratorium. Jelas hal ini akan sangat menyulitkan. Disamping itu ingatlah firman Allah dalam surat Al-Maiadah ayat 87: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Allah telah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Ada pula yang berpendapat bahwa etanol itu haram, akan tetapi etanol dapat digunakan dalam pengolahan pangan asalkan pada produk akhir tidak terdeteksi lagi adanya etanol. Pendapat ini lemah karena dua hal; pertama, berdasarkan hukum fiqih, apabila suatu makanan atau minuman tercampur dengan bahan yang haram maka menjadi haramlah ia (Ada pula yang berpendapat bahwa hal ini dibolehkan sepanjang tidak merubah sifat-sifat makanan atau minuman tersebut. Pendapat ini hasil qias terhadap kesucian air yang tercampuri bahan yang najis, sepanjang tidak merubah sifat-sifat air maka masih tetap suci. Penulis tidak sependapat dengan pandangan ini karena masalah kehalalan makanan dan minuman tidak bisa disamakan dengan masalah kesucian air, keduanya merupakan dua hal yang berbeda). Kedua, secara teori tidak mungkin dapat menghilangkan suatu bahan sampai 100 persen apabila bahan tersebut tercampur ke dalam bahan lain, dengan kata lain apabila etanol terdapat pada bahan awalnya, maka setelah pengolahan juga masih akan terdapat pada produk akhir, walaupun dengan kadar yang bervariasi tergantung pada jumlah awal etanol dan kondisi pengolahan yang dilakukan. Hal ini dapat dibuktikan di laboratorium.

Walaupun bukan etanol yang diharamkan tetapi minuman beralkohol, akan tetapi penggunaan etanol untuk pembuatan bahan pangan harus dibatasi, untuk menghindari penyalahgunaan dan menghindari perubahan sifat bahan pangan dari tidak memabukkan menjadi memabukkan. Etanol dapat digunakan dalam proses ekstraksi, pencucian atau pelarutan, akan tetapi sisa etanol pada produk akhir harus dihilangkan sedapat mungkin, sehingga hanya tersisa sangat sedikit sekali. Etanol tidak boleh digunakan sebagai solven akhir suatu bahan, misal digunakan sebagai pelarut bahan flavor dan pewarna.

Batasan khamar ini nampaknya tidak terbatas pada minuman saja mengingat ada hadis yang mengatakan setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram (Hadis Muslim); Semua yang mengacaukan akal dan semua yang memabukkan adalah haram (Hadis Abu Daud). Dengan demikian segala hal yang mengacaukan akal dan memabukkan seperti berbagai jenis bahan narkotika termasuk ecstasy adalah haram.

Disamping makanan dan minuman yang diharamkan seperti telah dijelaskan diatas, ada beberapa kaidah fiqih yang sering digunakan dalam menentukan halal haramnya bahan pangan. Kaidah tersebut diantaranya adalah:

  1. Semua yang bersifat najis haram untuk dimakan.
  2. Manakala bercampur antara yang halal dengan yang haram, maka dimenangkan yang haram.
  3. Apabila banyaknya bersifat memabukkan maka sedikitnya juga haram.

IMPLIKASI HUKUM SYARIAH DALAM PENETAPAN KEHALALAN PRODUK PANGAN HASIL BIOTEKNOLOGI

Apabila dasar-dasar syariah yang digunakan sebagai landasan penentuan kehalalan suatu bahan pangan telah dipahami dan disepakati maka sebetulnya implikasinya dalam menentukan kehalalan produk pangan hasil bioteknologi menjadi relatif lebih mudah. Secara umum hal-hal yang menjadi patokan dapat dirumuskan sbb:

  1. Dalam suatu produksi bahan pangan tidak menggunakan bahan-bahan yang diharamkan agar produknya dapat dinyatakan halal. Ini misalnya berlaku pada proses produksi secara fermentasi.
  2. Pemanfaatan babi dan unsur-unsurnya atau turunan-turunannya mutlak tidak boleh dilakukan. Jika suatu proses produksi memanfaatkan babi dan unsur-unsurnya maka produknya menjadi haram dimakan. Sebagai contoh: pemanfaatan gen dari babi untuk rekayasa genetika, pemanfaatan porcine somatotropin untuk penggemukan sapi, dll.
  3. Pemanfaatan hewan ternak selain babi dan unsur atau turunannya dibolehkan sepanjang ternak tersebut disembelih secara islami.
  4. Penggunaan etanol sebagai substrat, senyawa intermediet, solven dan pengendap dibolehkan, sepanjang konsentrasinya pada produk akhir (ingredien pangan) diupayakan minimal (minimal level technologically possible, sesuai dengan pendapat Chaudry dan Regenstein, 1994).

Tentu masih ada beberapa hal lagi yang bisa dijadikan patokan, disamping masih ada beberapa masalah lagi yang belum dapat dipecahkan pada saat ini. Oleh karena, hal ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk merumuskan dan mencarikan jalan keluarnya.

DAFTAR PUSTAKA

1.       Bretherick, L (ed.). 1986. Hazards in the Chemical Laboratory. Fourth edition. The Royal Society of Chemistry, London.

2.       Chaudry, M. M. dan Regenstein, J. M. 1994. Implications of biotechnology and genetic engineering for kosher and halal foods. Trends in Food Sci. Technol., 5, 165 168.

3.       Etievant, P. X. 1991. Wine. Didalam: Volatile Compounds in Foods and Beverages, ed. H. Maarse. Marcel Dekker, New York.

4.       Hamka. 1982. Tafsir Al-Azhar Juzu VI. Panji Masyarakat, Jakarta.

5.       Hamka, 1984. Tafsir Al-Azhar Juzu VIII. Pustaka Panjimas, Jakarta.

6.       Hassan A. 1975. Tarjamah Bulughul Maram. Diponegoro, Bandung.

7.       Hassan, A. 1985. Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. Diponegoro, Bandung.

8.       Majelis Ulama Indonesia. 2000. Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Produk Penyedap Rasa (Monosodium Glutamate, MSG) Dari PT. Ajinomoto Indonesia yang Menggunakan Bacto Soytone.

9.       Sabiq, S. 1987. Fikih Sunnah. Alih bahasa M. Syaf. Al-Marif, Bandung.

10.   Shaw, P. E. 1991. Fruits II. Didalam: Volatile Compounds in Foods and Beverages, ed. H. Maarse. Marcel Dekker, New York.

11.   Qardlawi, M. Y. E. 1976. Halal dan Haram dalam Pandangan Islam. Alih bahasa M. Hamidy. Bina Ilmu, Surabaya.

 

2 respons untuk ‘Penentuan Kehalalan Produk Pangan Hasil Bioteknologi: Suatu Tantangan

  1. menurut anda apakah di dalam islam dijelaskan tingkat keharaman suatu makanan??

Tinggalkan komentar