DEKOMPOSISI ZAT ORGANIK

Zat organik adalah zat yang pada umumnya merupakan bagian dari binatang atau tumbuh tumbuhan dengan komponen utamanya adalah karbon, protein, dan lemak lipid. Zat organik ini mudah sekali mengalami pembusukan oleh bakteri dengan menggunakan oksigen terlarut.

Limbah organik adalah sisa atau buangan dari berbagai aktifitas manusia seperti rumah tangga, industri, pemukiman, peternakan, pertanian dan perikanan yang berupa bahan organik; yang biasanya tersusun oleh karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, fosfor, sulfur dan mineral lainnya (Polprasert, 1989). Limbah organik yang masuk ke dalam perairan dalam bentuk padatan yang terendap, koloid, tersuspensi dan terlarut. Pada umumnya, yang dalam bentuk padatan akan langsung mengendap menuju dasar perairan; sedangkan bentuk lainnya berada di badan air, baik di bagian yang aerob maupun anaerob. Dimanapun limbah organik berada, jika tidak dimanfaatkan oleh fauna perairan lain, seperti ikan, kepiting, bentos dan lainnya; maka akan segera dimanfaatkan oleh mikroba; baik mikroba aerobik (mikroba yang hidupnya memerlukan oksigen); mikroba anaerobik (mikroba yang hudupnya tidak memerlukan oksigen) dan mikroba .fakultatif (mikroba yang dapat hidup pada perairan aerobik dan anaerobik).

Limbah organik yang ada di badan air aerob akan dimanfaatkan dan diurai (dekomposisi) oleh mikroba aerobik (BAR); dengan proses seperti pada reaksi (1) dan (2):

·                     BAR + O2 + BAR è CO2 + NH3 + prod lain + enerji .. (1) (COHNS)

·                     COHNS + O2 + BAR + enerji è C5H7O2N (sel MO baru)…(2)

Kedua reaksi tersebut diatas dengan jelas mengisaratkan bahwa makin banyak limbah organik yang masuk dan tinggal pada lapisan aerobik akan makin besar pula kebutuhan oksigen bagi mikroba yang mendekomposisi, bahkan jika keperluan oksigen bagi mikroba yang ada melebihi konsentrasi oksigen terlarut maka oksigen terlarut bisa menjadi nol dan mikroba aerobpun akan musnah digantikan oleh mikroba anaerob dan fakultatif yang untuk aktifitas hidupnya tidak memerlukan oksigen.

Dekomposisi di Badan Air Anaerob

Limbah organik yang masuk ke badan air yang anaerob akan dimanfaatkan dan diurai (dekomposisi) oleh mikroba anaerobik atau fakultatif (BAN); dengan proses seperti pada reaksi (3) dan (4):

·                     COHNS + BAN è CO2 + H2S + NH3 + CH4 + produk lain + enerji ……….(3)

·                     COHNS + BAN + enerji è C5H7O2 N (sel MO baru)….…..(4)

Kedua proses tersebut diatas mengungkapkan bahwa aktifitas mikroba yang hidup di bagian badan air yang anaerob selain menghasilkan sel-sel mikroba baru juga menghasilkan senyawa-senyawa CO2, NH3, H2S, dan CH4 serta senyawa lainnya seperti amin, PH3 dan komponen fosfor. Asam sulfide (H2S), amin dan komponen fosfor adalah senyawa yang mengeluarkan bau menyengat yang tidak sedap, misalnya H2S berbau busuk dan amin berbau anyir. Selain itu telah disinyalir bahwa NH3 dan H2S hasil dekomposisi anaerob pada tingkat konsentrasi tertentu adalah beracun dan dapat membahayakan organisme lain, termasuk ikan.

Selain menghasilkan senyawa yang tidak bersahabat bagi lingkungan seperti tersebut diatas, hasil dekomposisi di semua bagian badan air menghasilkan CO2 dan NH3 yang siap dipakai oleh organisme perairan berklorofil (fitoplankton) untuk aktifitas fotosintesa; yang dapat digambarkan sebagai reaksi (5).

MATAHARI
NH3 +7.62 CO2 + 2.53 H2O è C7.62 H8.06 O 2.53 N + 7.62 O2 …..(5)

DAMPAK DEKOMPOSISI LIMBAH ORGANIK.

Uraian diatas mengungkapkan bahwa proses dekomposisi limbah organik di badan air bagian manapun cenderung selalu merugikan karena sebagian besar produknya (NH3 H2S dan CH4) dapat langsung mengganggu kehidupan fauna, sedang produk yang lain (nutrien) meskipun sampai pada konsentrasi tertentu menguntungkan namun jika limbah/nutrien terus bertambah (eutrofikasi) akan menjadi pencemar yang menurunkan kualitas perairan dan akhirnya mengganggu kehidupan fauna.

Dampak Langsung.

Pengaruh pertama proses dekomposisi limbah organik di badan air aerobik adalah terjadinya penurunan oksigen terlarut dalam badan air. Fenomena ini akan mengganggu pernafasan fauna air seperti ikan dan udang-udangan; dengan tingkat gangguan tergantung pada tingkat penurunan konsentrasi oksigen terlarut dan jenis serta fase fauna. Secara umum diketahui bahwa kebutuhan oksigen jenis udang-udangan lebih tinggi daripada ikan dan kebutuhan oksigen fase larva/juvenil suatu jenis fauna lebih tinggi dari fase dewasanya. Dengan demikian maka dalam kondisi konsentrasi oksigen terlarut menurun akibat dekomposisi; larva udang-udangan akan lebih menderita ataupun mati lebih awal dari larva fauna lainnya. Fenomena seperti itulah yang diduga menjadi sebab kenapa akhir-akhir ini di sepanjang pantai utara P. Jawa yang padat penduduk dan tinggi pemasukan limbah organiknya tidak mudah lagi ditemukan bibit-bibit udang dan bandeng (nener); padahal pada masa lalu dengan mudahnya ditemukan..

Kesulitan fauna karena penurunan oksigen terlarut sebenarnya baru dampak permulaaan, sebab jika jumlah pencemar organik dalam badan air bertambah terus maka proses dekomposisi organik memerlukan oksigen lebih besar dan akibatnya badan air akan mengalami deplesi oksigen bahkan bisa habis sehingga badan air menjadi anaerob (Polprasert, 1989). Jika fenomena ini terjadi pada seluruh bagian badan air maka fauna air akan mati masal karena tidak bisa menghindar; namun jika hanya terjadi di bagian bawah badan air maka fauna air, termasuk ikan masih bisa menghindar ke permukaan hingga terhindar dari kematian. Secara alamiah kejadian anaerob di semua lapisan badan air memang sangat sulit terjadi karena bagian atas air selalu berhubungan dengan udara bebas yang selalu mensupplainya, namun demikian kalau sebagian badan air anaerob sangatlan sering; misal di teluk-teluk waduk dan pantai yang relatip menggenang sering muncul gelembung-gelembung gas yang mengisaratkan bahwa bagian air yang anaerob dekat dengan permukaan air.

Telah diuraikan bahwa pada badan air yang anaerob dekomposisi bahan organik menghasilkan gas-gas, seperti H2S, metan dan amoniak yang bersifat racun bagi fauna seperti ikan dan udang-udangan. Seperti penurunan oksigen terlarut; senyawa-senyawa beracun inipun dalam konsentrasi tertentu akan dapat membunuh fauna air yang ada.

Selain menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut dan menghasilkan senyawa beracun yang selalu merugikan dan dapat menyebabkan kematian fauna; dekomposisi juga dapat menghasilkan kondisi perairan yang cocok bagi kehidupan mikroba fatogen yang terdiri dari mikroba, virus dan protozoa (Polprasert, 1989), yang setelah berkembang-biak, setiap saat dapat menyerang dan menjadi penyakit yang mematikan ikan, udang dan fauna lainnya

Dampak Tidak Langsung (Eutrofikasi)

Selain menurunkan konsentrasi oksigen terlarut, menghasilkan senyawa beracun dan menjadi tempat hidup mikroba fatogen yang menyengsarakan fauna air; dekomposisi juga menghasilkan senyawa nutrien (nitrogen dan fosfor) yang menyuburkan perairan. Nutrien merupakan unsur kimia yang diperlukan alga (fitoplankton) untuk hidup dan pertumbuhannya (Hutchinson, 1944; Margalef, 1958 dan Frost, 1980). Sampai pada tingkat konsentrasi tertentu, peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air akan meningkatkan produktivitas perairan (Garno, 1995); karena nutrien yang larut dalam badan air langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton (reaksi no 5) untuk pertumbuhannya sehingga populasi dan kelimpahannya meningkat (Garno, 1992). Peningkatan kelimpahan fitoplankton akan diikuti dengan peningkatan kelimpahan zooplankton, yang makanan utamanya adalah fitoplankton (Garno, 1998). Akhirnya karena fitoplankton dan zooplankton adalah makanan utama ikan; maka kenaikan kelimpahan keduanya akan menaikan kelimpahan (produksi) ikan dalam badan air tersebut.

Sangat disayangkan bahwa jika peningkatan nutrien terus berlanjut maka dampak positif seperti itu hanya bersifat sementara bahkan akan terjadi proses yang berdampak negatif bagi kualitas badan air (Anonim, 2001). Peningkatan konsentrasi nutrien yang berkelanjutan dalam badan air, apalagi dalam jumlah yang cukup besar akan menyebabkan badan air menjadi sangat subur atau eutrofik (Henderson, 1987). Proses peningkatan kesuburan air yang berlebihan yang disebabkan oleh masuknya nutrien dalam badan air, terutama fosfat inilah yang disebut eutrofikasi (Anonim, 2001).

Sesungguhnya eutrofikasi adalah sebuah proses alamiah yang terjadi dengan pelahan-lahan dan memakan waktu berabad-abad bahkan ribuan tahun; di mana badan air yang relatif tergenang seperti danau dan pantai tertutup mengalami perubahan produktifitas secara bertahap. Namun demikian, sejalan dengan peningkatan populasi manusia yang diikuti dengan peningkatan jumlah limbah yang dihasilkannya, maka tanpa disadari fenomena ini telah dipercepat menjadi dalam hitungan beberapa dekade seperti yang umum terjadi pada berbagai danau dan pantai (Goldman dan Horne,1983); bahkan beberapa tahun saja seperti eutrofikasi yang terjadi pada perairan waduk kaskade Citarum (Garno, 2001a) dan beberapa minggu seperti eutrofikasi yang terjadi pada perairan tambak (Garno, 2001b). Fenomena tersebut menunjukkan bahwa eutrofikasi memang telah menjadi masalah perairan umum di seluruh di dunia..

Publikasi yang ada menyatakan bahwa kandungan fosfor > 0,010 mgP·l-1 dan nitrogen > 0,300 mgN·l-1 dalam badan air akan merangsang fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang-biak dengan pesat (Henderson dan Markland, 1987), sehingga terjadi blooming sebagai hasil fotosintesa yang maksimal dan menyebabkan peningkatan biomasa perairan tersebut (Garno, 1992). Sehubungan dengan peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air, setiap jenis fitoplankton mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memanfaatkannya sehingga kecepatan tumbuh setiap jenis fitoplankton berbeda (Henderson dan Markland 1987; Margalef, 1958;. Selain itu setiap jenis fitoplankton juga mempunyai respon yang berbeda terhadap perbandingan jenis nutrien yang terlarut dalam badan air (Kilham dan Kilham, 1978). Fenomena ini menyebabkan komunitas fitoplankton dalam suatu badan air mempunyai struktur dan dominasi jenis yang berbeda dengan badan air lainnya (Hutchinson, 1944; Margalef., 1958 Reynolds, 1989).

Perbedaan struktur dan dominasi jenis fitoplankton tersebut diatas juga dipengaruhi oleh karakteristik fitoplankton dan zooplankton yang ada. Diketahui beberapa jenis fitoplankton tidak dapat dimakan oleh zooplankton karena bentuk morpologi, fisiologi (Horn, 1981; Garno, 1993; Geller, 1975, Downing dan Petter, 1980) komposisi fitoplankton; dan mekanisme makan zooplankton (DeMott, 1982; Frost, 1980; James &. Forsynth 1990) serta faktor abiotik lainnya. Selanjutnya dalam kondisi persediaan makanan (fitoplankton) banyak dan beragam; zooplankton melakukan pemilihan terhadap jenis, bentuk dan ukuran fitoplankton yang hendak dimakan atau selective feeding (Garno, 1993).

Interaksi kompleks antara nutrien, fitoplankton dan zooplankton tersebut menyebabkan badan air yang mengalami eutrofikasi pada akhirnya akan didominasi oleh sejenis fitoplankton tertentu yang pada umumnya tidak bisa dimakan oleh fauna air terutama zooplankton dan ikan; termasuk karena beracun. Sebagai contoh yang nyata dari fenomena ini adalah dominasi Mycrocistis sp di waduk-waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur (Garno, 2001, 2002, 2003); dan dominasi Pyrodinium bahamense, lexandrium spp. dan Gymnodinium spp. di perairan pantai/pesisir waktu terjadi “red-tide

Selain merugikan dan mengancam keberlanjutan fauna akibat dominasi fito-plankton yang tidak dapat dimakan dan beracun; blooming yang menghasilkan biomasa (organik) tinggi juga merugikan fauna; karena fenomena blooming selalu diikuti dengan penurunan oksigen terlarut secara drastis akibat pe-manfaatan oksigen yang ber lebihan untuk de-komposisi biomasa (organik) yang mati. Seperti pada analisis dampak langsung tersebut diatas maka rendahnya konsentrasi oksigen terlarut apalagi jika sampai batas nol akan menyebabkan ikan dan fauna lainnya tidak bisa hidup dengan baik dan mati. Selain menekan oksigen terlarut proses dekomposisi tersebut juga menghasilkan gas beracun seperti NH3 dan H2S yang pada konsentrasi tertentu dapat membahayakan fauna air, termasuk ikan.

Selain badan air didominasi oleh fitoplankton yang tidak ramah lingkungan seperti tersebut diatas, eutrofikasi juga merangsang pertumbuhan tanaman air lainnya, baik yang hidup di tepian (eceng gondok) maupun dalam badan air (hydrilla). Oleh karena itulah maka di rawa-rawa dan danau-danau yang telah mengalami eutrofikasi tepiannya ditumbuhi dengan subur oleh tanaman air seperti eceng gondok (Eichhornia crassipes), Hydrilla dan rumput air lainnya.

Akhirnya, yang harus dimengerti dan disadari adalah bahwa karena Indonesia merupakan negara tropis yang mendapatkan cahaya Matahari sepanjang tahun; maka blooming (dalam arti biomasa alga tinggi) dapat terjadi sepanjang tahun. Artinya kapan saja (asal tidak mendung/hujan) dan dari manapun asalnya kalau konsentrasi nutrien dalam badan air meningkat maka akan meningkat pula aktifitas fotosintesa fitoplankton yang ada; dan jika peningkatan nutrien cukup besar alau lama akan terjadi blooming. Fenomena itulah yang menyebabkan badan-badan air (waduk, danau dan pantai) di Indonesia yang telah menjadi hijau warnanya tidak pernah atau jarang sekali menjadi jernih kembali; tidak seperti di negeri 4 musim seperti Kanada dan Jepang yang blooming hanya terjadi di akhir musim semi dan panas.

 

Game Theory & Prisoner’s Dilemma.

By : dhani

Game theory sebenarnya adalah cabang matematika terapan yang sering dipakai dalam konteks ekonomi. Teori ini mempelajari interaksi strategis antar pemain (“agen”). Dalam permainan strategis, suatu agen memilih strategi yang dapat memaksimalkan keuntungan, berdasarkan strategi yang dipilih agen lain. Intinya, teori ini menyediakan pendekatan permodelan formal terhadap situasi sosial mengenai bagaimana pelaku keputusan berinteraksi dengan agen lain.

Game theory dapat menjelaskan suatu paradoks yang cukup terkenal, yakni bagaimana orang bisa bekerjasama dalam masyarakat apabila masing-masing dari mereka cenderung berusaha untuk menjadi pemenang. Asal tahu saja, paradoks ini sempat menyusahkan Charles Darwin saat menyusun teori evolusinya itu. (Dan dengan demikian mematahkan satu lagi argumen bahwa teori evolusi tidak dapat dibuktikan secara matematis).

Para ekonom dibikin kagum dengan game theory karena teori ini dapat menjelaskan secara matematis mengapa tangan yang tak terlihat (invisible hand) yang diajukan oleh pelopor pasar bebas Adam Smith, bisa gagal memberikan kemaslahatan umum. John Nash, matematikawan yang juga dikenal sebagai salah seorang pelopor game theory menunjukkan perbedaan antara permainan kooperatif, dimana masing-masing pemain saling bekerjasama secara terikat, dan permainan non-kooperatif, dimana tidak ada kekuatan dari luar permainan yang dapat memaksakan berlakunya sekumpulan peraturan yang sudah ditentukan sebelumnya.

Dalam permainan non-kooperatif, Nash menemukan bahwa jika harapan semua pemain terpenuhi, mereka tidak akan mau mengubah strategi karena mereka akan rugi sendiri. Hasilnya adalah suatu kesetimbangan (equilibrium), yang sekarang disebut sebagai Kesetimbangan Nash. Walaupun pernah frustrasi sampai sakit jiwa akibat gagal memperoleh medali Field (penghargaan prestisius untuk bidang Matematika), tapi Nash akhirnya berhasil meraih Nobel Ekonomi berkat teorinya ini.

Karya ini bisa menerangi keputusan-keputusan bisnis dalam pasar yang penuh persaingan, teori makroekonomi untuk kebijakan ekonomi, ekonomi lingkungan dan sumberdaya, teori perdagangan luar negeri, ekonomi informasi, dan seterusnya. Para politisi juga pasti menyukai teori ini karena bisa menunjukkan bagaimana kepentingan pribadi yang “rasional” bisa merugikan semua orang. Pada 1970-an, game theory diperluas hingga mencakup bidang biologi. Sekarang kita lihat, bagaimana game theory berperan dalam teori evolusi.

Untuk itu, kita perlu berkenalan dulu dengan yang namanya dilema narapidana (prisoner’s dilemma). Ini adalah istilah untuk menggambarkan interaksi, entah antara individu-individu atau kelompok-kelompok dalam bentuk suatu permainan sederhana. Gagasan permainannya adalah untuk menirukan konflik-konflik yang ada dalam dunia nyata, antara pandangan pemenang memperoleh segalanya, dan perlunya kerjasama dan kompromi untuk memperoleh semuanya itu.

Berikut adalah skenario dasar dari dilema narapidana. Dua narapidana (napi) diketahui telah melakukan jenis kejahatan X. Tetapi, polisi menduga mereka telah melakukan suatu jenis kejahatan Y yang lebih serius. Kedua napi lantas ditempatkan dalam sel terpisah dan masing-masing diberikan tawaran:

  • Napi yang bersaksi melawan napi yang lainnya terkait dengan kejahatan Y akan dibebaskan, sementara napi lainnya akan dipenjara selama 3 tahun. Ini disebut ”sucker’s payoff” (entah apa terjemahannya dalam bahasa Indonesia).
  • Apabila keduanya menyangkal, atau saling bersaksi terhadap yang lainnya, maka keduanya akan mendapat hukuman 2 tahun penjara.
  • Apabila keduanya bungkam, maka masing-masing akan menjalani hukuman 1 tahun penjara.

Disini, kedua napi pada dasarnya mendapat dua pilihan: untuk bekerjasama (dalam skenario ini, tetap diam) atau untuk berkhianat. Bekerjasama artinya bahwa napi bersangkutan bisa jadi mendekam di penjara selama 1 atau 3 tahun. Tapi apabila berkhianat, maka ia dapat menjalani hukuman 0 atau 2 tahun, tergantung pengakuan napi lainnya.

Karena masing-masing napi tidak tahu pilihan apa yang diambil napi lainnya (keduanya berada dalam sel terpisah dan tidak dapat berkomunikasi satu sama lain), pilihan yang rasional, menurut aturan bertahan hidup ala Darwin adalah pilihan yang paling menguntungkan (ingat kaidah survival of the fittest). Dalam hal ini adalah memaksimalkan kemungkinan terbaik (nol tahun di penjara) dan meminimalisir kemungkinan terburuk (2 atau 3 tahun di penjara).

Tahun 1980-an, sebuah kompetisi pemrograman komputer diadakan untuk mencari solusi terbaik untuk dilema narapidana. Hasilnya, sebuah program simulasi yang dinamai Tit-for-tat keluar sebagai pemenang. Seperti yang ditunjukkan oleh namanya (yang secara harafiah berarti satu pukulan dibalas satu pukulan), program ini memilih bekerjasama pada putaran pertama, dan kemudian menirukan apapun yang dilakukan lawan pada putaran-putaran selanjutnya.

Dalam kasus ini, saling bekerjasama membawa hasil positif, sementara si pengkhianat kelak akan memperoleh balasannya (apabila Anda mengkhianati saya, pada putaran berikut Anda juga akan saya khianati). Sebaliknya, kalau kita bekerjasama, tidak perduli apapun yang dilakukan orang lain, akibatnya adalah “suckers payoff.” Orang lain tidak punya insentif untuk bekerjasama dengan kita, dan akibatnya kita akan selalu menjadi pecundang.

Tapi, itu kan dalam simulasi. Dalam dunia nyata, si baik bisa saja merugi, dan si pengkhiat bisa beruntung, dan kadang-kadang memang demikian yang terjadi. Kemunculan kerjasama dapat dipicu manakala salahsatu diantara kondisi-kondisi berikut ini ada: para ‘pemain’ berkali-kali saling bertemu; mereka saling mengenal; mereka mengingat hasil pertemuan terdahulu. Tapi ada juga faktor-faktor lain yang juga perlu diperhitungkan, mulai dari peluang terjadinya pertemuan antar pemain, kesalahan-kesalahan (ketika ajakan untuk bekerjasama justeru dianggap sebagai pengkhianatan), hingga kemungkinan adanya faktor genetis pembentuk perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, tit-for tat mungkin terlalu ideal sehingga sulit diterapkan di dunia nyata.

Solusinya adalah dengan menambahkan unsur kesalahan, yang mungkin hanya disebabkan kecenderungan manusiawi untuk berbuat kesalahan. Tit-for-tat bukanlah strategi paling hebat, karena tidak punya sifat pemaaf: sekali dua pemain tit-for-tat mulai saling berkhianat, mereka akan terus melakukan itu. Dengan menambahkan sedikit unsur ketidakpastian, masing-masing pemain dapat mengembangkan strategi baru. Penambahan sedikit unsur keacakan pada perilaku program memungkinkan munculnya “sifat pemaaf”, dan kesempatan untuk menguji perilaku pemain lain.

Satu strategi yang menggunakan sifat pemaaf adalah “tit-for-tat baik hati” (generous tit-for-tat), dimana ditambahkan unsur keacakan untuk memutuskan lingkaran setan saling mengkhianati. Strategi lain yang yang lebih sukses, diberi nama Pavlov, dapat digambarkan dengan ungkapan “Kalau tidak rusak, tak usah diperbaiki (dan jika Anda kalah, ganti strategi).” Bagaimanapun juga, ketidak pastian ternyata memungkinkan kerjasama, dan pesan optimistik dalam model tit-for-tat tetap berlaku.

Pendeknya, apa yang ditunjukkan oleh dilema narapidana juga dapat terjadi dalam tataran pribadi maupun evolusioner: Kalau saya bekerjasama dengan Anda, maka Anda kemungkinan besar juga akan bekerjasama dengan saya (strategi tit-for-tat) dan kita akan memperoleh skor yang sama dalam “permainan kehidupan”. Sebaliknya, apabila kita saling mengkhianati, maka kita berdua sama-sama kalah dan akhirnya “game over”.

Adopted from www.blog.dhani.org

 

 

BAHAN BERBAHAYA YANG DILARANG UNTUK PANGAN

Bahan berbahaya adalah bahan kimia baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung yang mempunyai sifat racun, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi

(Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 472/ Menkes/ Per/ V/ 1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya BagiKesehatan).

Sesungguhnya bahan kimia bersifat esensial dalam peningkatan kesejahteraan manusia, dan penggunaannya sedemikian luas di berbagai sektor antara lain industri, pertanian, pertambangan dan lain sebagainya. Singkatnya, bahan kimia dengan adanya aneka produk yang berasal dari padanya telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun hal yang perlu kita waspadai adalah adanya kecenderungan penggunaan yang salah(misuse) sejumlah bahan (kimia) berbahaya pada pangan. Bahan kimia berbahaya yang sering disalah gunakan pada pangan antara lain boraks, formalin, rhodamin B, dan kuning metanil. Keempat bahan kimia tersebut dilarang digunakan untuk pangan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di bawah ini diketengahkan sejumlah tujuan peruntukan dari senyawa-senyawa tersebut.

  • Boraks digunakan untuk mematri logam; pembuatan gelas dan enamel; anti jamur kayu; pembasmi kecoa; antiseptik; obat untuk kulit dalam bentuk salep; campuran pembersih.
  • Formalin digunakan untuk pembunuh kuman sehingga banyak dimanfaatkan sebagai pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian; pembasmi lalat dan berbagai serangga lain; bahan untuk pembuatan sutra buatan, zat pewarna, pembuatan gelas dan bahan peledak; dalam dunia fotografi biasanya digunakan untuk pengeras lapisan gelatin dan kertas; bahan untuk pengawet mayat; bahan pembuatan pupuk lepas lambat (slow- release fertilizer) dalam bentuk urea formaldehid; bahan untuk pembuatan parfum; bahan pengawet produk kosmetika dan pengeras kuku; pencegah korosi untuk sumur minyak; bahan untuk insulasi busa; bahan perekat untuk produk kayu lapis (plywood); dalam konsentrasi yang sangat kecil (< 1%) digunakan sebagai pengawet untuk berbagai produk konsumen seperti pembersih rumah tangga, cairan pencuci piring, pelembut, perawat sepatu, shampoo mobil, lilin dan pembersih karpet.
  • Rhodamin B digunakan sebagai zat warna untuk kertas, tekstil (sutra, wool, kapas), sabun, kayu dan kulit; sebagai reagensia di laboratorium untuk pengujian antimon, kobal, niobium, emas, mangan, air raksa, tantalum, talium dan tungsten; untuk pewarna biologik.
  • Kuning metanil selain digunakan sebagai pewarna tekstil dan cat; juga digunakan sebagai indikator reaksi netralisasi (asam-basa).


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 722/ Menkes/ Per/ IX/ 1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, bahan yang dilarang digunakan pada pangan meliputi boraks/ asam borat, asam salisilat dan garamnya, dietilpirokarbonat, dulsin, kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofuranazon, serta formalin. Disamping itu, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 239/ Menkes/ Per/ V/ 1985 tentang Zat Warna Tertentu yang dinyatakan Sebagai BahanBerbahaya, memuat sebanyak 30 zat warna yang dilarang digunakan untuk pangan termasuk rhodamin B dan kuning metanil. Pelarangan tersebut tentunya berkaitan dengan dampaknya yang merugikan kesehatan manusia.

Potensi risiko yang dapat ditimbulkan dari masing-masing keempat bahan berbahaya tersebut adalah sebagai berikut:

  • Boraks beracun terhadap semua sel. Bila tertelan senyawa ini dapat menyebabkan efek negatif pada susunan syaraf pusat, ginjal dan hati. Ginjal merupakan organ yang paling mengalami kerusakan dibandingkan dengan organ lain. Dosis fatal untuk dewasa berkisar antara 15-20 g dan untuk anak-anak 3-6 g. Bila tertelan, dapat menimbulkan gejala-gejala yang tertunda meliputi badan terasa tidak nyaman (malaise), mual, nyeri hebat pada perut bagian atas (epigastrik), pendarahan gastroenteritis disertai muntah darah, diare, lemah, mengantuk, demam, dan rasa sakit kepala.
  • Formalin (larutan formaldehid), paparan formaldehid melalui saluran pencernaan dapat mengakibatkan luka korosif terhadap selaput lendir saluran pencernaan disertai mual, muntah, rasa perih yang hebat dan perforasi lambung. Efek sistemik dapat berupa depresi susunan syaraf pusat, koma, kejang, albuminaria, terdapatnya sel darah merah di urine (hematuria) dan asidosis metabolik. Dosis fatal formalin melalui saluran pencernaan pernah dilaporkan sebesar 30 ml. Formaldehid dapat mematikan sisi aktif dari protein- protein vital dalam tubuh, maka molekul-molekul itu akan kehilangan fungsi dalam metabolisme. Akibatnya fungsi sel akan terhenti.

Pada dasarnya, formaldehid dalam jaringan tubuh sebagian besar akan dimetabolisir kurang dari 2 menit oleh enzim formaldehid dehidrogenase menjadi asam format yang kemudian diekskresikan tubuh melalui urin dan sebagian dirubah menjadi CO2 yang dibuang melalui nafas. Fraksi formaldehid yang tidak mengalami metabolisme akan terikat secara stabil dengan makromolekul seluler protein DNA yang dapat berupa ikatan silang(cross-linked). Ikatan silang formaldehid dengan DNA dan protein ini diduga bertanggungjawab atas terjadinya kekacauan informasi genetik dan konsekuensi lebih lanjut seperti terjadi mutasi genetik dan sel kanker. Bila gen-gen rusak itu diwariskan, maka akan terlahir generasi dengan cacat gen. Dalam pada itu, International Agency Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikannya sebagai karsinogenik golongan 1 (cukup bukti sebagai karsinogen pada manusia), khususnya pada saluran pernafasan.

  • Rhodamin B bisa menumpuk di lemak sehingga lama-kelamaan jumlahnya akan terus bertambah. Rhodamin B diserap lebih banyak pada saluran pencernaan dan menunjukkan ikatan protein yang kuat. Kerusakan pada hati tikus terjadi akibat makanan yang mengandung rhodamin B dalam konsentrasi tinggi. Paparan rhodamin B dalam waktu yang lama dapat menyebabkan gangguan fungsi hati dan kanker hati.
  • Kuning metanil dapat menyebabkan mual, muntah, sakit perut, diare, panas, rasa tidak enak dan tekanan darah rendah. Pada jangka panjang dapat menyebabkan kanker kandung kemih.

Meskipun bahan kimia tersebut telah dilarang penggunaannya untuk pangan, namun potensi penggunaan yang salah (misuse) hingga saat ini bukan tidak mungkin.

Terdapat berbagai faktor yang mendorong banyak pihak untuk melakukan praktek penggunaan yang salah bahan kimia terlarang untuk pangan. Pertama, bahan kimia tersebut mudah diperoleh di pasaran. Kedua, harganya relatif murah. Ketiga, pangan yang mengandung bahan tersebut menampakkan tampilan fisik yang memikat. Keempat, tidak menimbulkan efek negatif seketika. Kelima, informasi bahan berbahaya tersebut relatif terbatas, dan pola penggunaannya telah dipraktekkan secara turun-temurun. Oleh karena itulah kita sebagai konsumen hendaknya perla berhati-hati dalam memilih produk pangan antara lain dengan mengenal ciri-ciri produk pangan yang mengandung bahan terlarang. Misalnya, tahu yang mengandung formalin mempunyai bentuk fisik yang terlampau keras, kenyal namun tidak padat, bau agak menyengat (bau formalin), tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar (25o C) dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10o C).

Tentu upaya lain dapat ditempuh dalam hal sulit untuk menentukan ciri-ciri fisik produk pangan yang mengandung bahan kimia yang terlarang. Misalnya, membeli dari toko/ pasar swalayan yang bereputasi baik atau mengecek apakah produk dimaksud telah terdaftar . Disamping itu, masyarakat dapat mencari informasi tentang bahan berbahaya dari berbagai sumber yang tersedia antara lain: melalui media elektronik (TV, radio, internet), media cetak ( koran, leaflet, booklet, poster) atau komunikasi langsung melalui penyuluhan, seminar dan lain sebagainya. Dengan demikian, secara perlahan diharapkan terjadi perubahan perilaku dari mereka yang tidak tahu menjadi tahu dan dapat menggugah kesadaran mereka sehingga mau dan mampu untuk melakukan pengamanan paling tidak untuk lingkungan keluarganya sendiri. Pada gilirannya akan terbentuk suatu budaya yang menonjolkan perilaku kehidupan yang aman (safety culture) di tengah masyarakat.

Pemerintah dalam hal ini Badan POM bersama jajarannya yaitu Balai Besar POM/ Balai POM secara rutin melakukan pengawasan dan pengamanan termasuk melakukan sampling terhadap sejumlah sampel yang diduga mengandung bahan berbahaya antara lain: tahu, mie basah, kerupuk, ikan asin dan sebagainya untuk dilakukan uji laboratorium terhadap produk- produk tersebut, serta melakukan tindakan pengamanan yang sesuai.

Dalam rangka meminimalisir praktek penggunaan bahan kimia yang salah dalam pangan maka Badan Pengawas Obat dan Makanan tidak dapat melakukannya sendiri. Terdapat sejumlah aspek yang bukan merupakan kewenangan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Salah satu diantaranya adalah pengaturan di bidang tata niaga dan distribusi bahan berbahaya yang merupakan kompetensi dari Departemen Perdagangan.

Baru-baru ini Departemen Perdagangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 04/M-Dag /Per/2/2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya, yang diamandemen dengan Peraturan Menteri Perdagangan No.8/M-DAG/PER/6/2006. Peraturan ini ditetapkan dengan maksud agar kasus penggunaan yang salah (misuse) bahan berbahaya pada pangan dapat dicegah atau paling tidak dikurangi dengan cara mengendalikan pasokan bahan berbahaya tersebut melalui mekanisme distribusi yang jelas. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa yang boleh memproduksi bahan berbahaya di dalam negeri adalah perusahaan yang sudah memiliki izin sebagai Produsen Bahan Berbahaya (PB2) dan PB2 hanya boleh menyalurkan bahan berbahaya kepada Pengguna Akhir Bahan Berbahaya (PAB2) atau melalui Distributor Terdaftar Bahan Berbahaya (DTB2). Selanjutnya, bahan berbahaya boleh diimpor oleh Importir Terdaftar Bahan Berbahaya (ITB2) yang berhak mendistribusikan secara langsung kepada PAB2. Importasi bahan berbahaya juga boleh dilakukan oleh Importir Produsen Bahan Berbahaya (IPB2) untuk kepentingan produksinya sendiri. DTB2 hanya boleh menyalurkan bahan berbahaya kepada PAB2 dan Pengecer terdaftar Bahan Berbahaya (PTB2) dan PTB2 hanya boleh menyalurkan bahan berbahaya kepada PAB2. Surat izin Usaha Perdagangan Bahan Berbahaya untuk DTB2 dan PTB2 dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perdagangan dan gubernur di propinsi PTB2 tersebut berada. Pembinaan dan pengawasan terhadap IPB2, ITB2, DTB2, PTB2 dilakukan oleh Departemen Perdagangan berkoordinasi dengan departemen/ instansi yang terkait. Pada peraturan menteri tersebut, diatur 54 jenis (terlampir) bahan berbahaya yang dilarang penggunaannya dalam pangan.

 

DAFTAR JENIS BAHAN BERBAHAYA

NO

NAMA BAHAN

NOMOR CAS *)

KEMASAN TERKECIL DISTRIBUTOR DAN PENGECER

KEPERLUAN LAIN DILUAR PANGAN

LABORATORIUM / PENELITIAN

1.

Alkannin

23444-65-7

1 kg

25 g

2.

Asam Borat

10043-35-3

1 kg

25 g

3.

Asam Monokloroasetat

79 – 11 – 8

1 l

25 ml

4.

Asam Nordihidroguaiaretat

500-38-9

1 kg

25 g

5.

Asam Salisilat

69-72-7

1 kg

2,5 g

6.

Auramin

2465-27-2

1 kg

10 g

7.

Amaran

915-67-3

1 kg

10 g

8.

Besi (III) oksida

1309-37-1

1 kg

10 g

9.

Bismut Oksiklorida

7787-59-9

1 kg

25 g

10.

Boraks

1303-96-4

5 kg

25 g

11.

Coklat FB

12236-46-3

1 kg

25 g

12.

Dietil Pirokarbonat

1609-47-8

1 kg

25 g

13.

Dulsin

150-69-6

1 kg

5 g

14.

Formaldehid larutan

50-00-0

10 l

25 ml

15.

Hijau Amasid G

5141-20-8

1 kg

25 g

16.

Indantren Biru R

81-77-6

1 kg

10 g

17.

Kalkozin Magenta N

569-61-9

1 kg

25 g

18.

Kalium Borat

7758-01-2

1 kg

50 g

19.

Kalium Klorat

3811-04-9

1 kg

5 g

20.

Kobalt Asetat

71-48-7

1 kg

5 g

21.

 

Kobalt Klorid

 

7646-79-9

 

1 kg

 

5 g

 

22.

 

Kobalt Sulfat

 

10124-43-3

 

1 kg

 

5 g

 

23.

 

Krisoidin

 

532-82-1

 

1 kg

 

50 g

 

24.

 

Krisoin S

 

547-57-9

 

1 kg

 

10 g

 

25.

 

Kumarin

 

91-64 – 5

 

1 kg

 

5 g

 

26.

 

Kuning Anilin

 

2706-28-7

 

1 kg

 

10 g

 

27.

 

Kuning Mentega

 

60-11-7

 

1 kg

 

10 g

 

28.

 

Kuning Metanil

 

587-98-4

 

1 kg

 

25 g

 

29.

 

Kuning AB

 

85-84-7

 

1 kg

 

10 g

 

30.

 

Kuning OB

 

131-79-3

 

1 kg

 

10 g

 

31.

 

Magenta I

 

632-99-5

 

1 kg

 

25 g

 

32.

 

Magenta II

 

26261-57-4

 

1 kg

 

25 g

 

33.

 

Magenta III

 

3248-91-7

 

1 kg

 

25 g

 

34.

 

Merah Sitrus No.2

 

6358-53-8

 

1 kg

 

25 g

 

35.

 

Minyak Oranye SS

 

2646-17-5

 

1 kg

 

25 g

 

36.

 

Minyak Oranye XO

 

3118-97-6

 

1 kg

 

25 g

 

37.

 

Nitrobenzen

 

98-95-3

 

1 l

 

25 ml

 

38.

 

Nitrofurazon

 

59-87-0

 

1 kg

 

5 g

 

39.

 

Natrium Salisilat

 

54-21-7

 

1 kg

 

5 g

 

40.

 

Oranye G

 

1936-15-8

 

1 kg

 

25 g

 

41.

 

Oranye GGN

 

523-44-4

 

1 kg

 

25 g

 

42.

 

Orcein

 

1400-62-0

 

1 kg

 

5 g

 

43.

 

P 400

 

553 – 79 – 7

 

1 kg

 

5 g

 

44.

 

Paraformaldehid

 

30525-89-4

 

1 kg/ 1 fl (100 tab)

 

5 g

 

45.

 

Ponceau 3R

 

3564-09-08

 

1 kg

 

5 g

 

46.

 

Ponceau 6R

 

5850-44-2

 

1 kg

 

5 g

 

47.

 

Ponceau SX

 

4548-53-2

 

1 kg

 

10 g

 

48.

 

Rhodamin B

 

81-88-9

 

1 kg

 

1 g

 

49.

 

Sinamil Antranilat

 

87-29-6

 

1 kg

 

10 g

 

50.

 

Skarlet GN

 

3257-28-1

 

1 kg

 

10 g

 

51.

 

Sudan 1

 

842-07-9

 

1 kg

 

25 g

 

52.

 

Tiourea

 

62 – 56 – 6

 

1 kg

 

25 g

 

53.

 

Trioksan

 

110-88-3

 

1 kg

 

25 g

 

54.

 

Violet 6B

 

1694-09-3

 

1 kg

 

10 g